Showing posts with label Thoughts. Show all posts
Showing posts with label Thoughts. Show all posts

7/12/2018

Wobble.. Bobbleblaw..



I almost forgot
    how to let go
  of things that
       broke my breath

I almost forgot
     how to forgive
         things that
    stabbed my chest

I almost forgot
     how to deal
   with the misfortune
           that is often
       hold me in

I almost forgot
     how to see
   the world that
       I often trying
          to be grateful
     of,   but
             things seems
          would not be
        enough
        
I almost forgot
    how to paint
  a smile in 
        a life that
      is full of 
    miserable.

If only you,
    read this writings
   I want to
       thank you for
     giving a space
         to hear my
      thoughts
  when I just
          wishing that none
    of them are
      real.

Before you go
       leaving this page
  and maybe not
         coming back,  I
     have a simple
   question for you
     to answer.

will you,
        help 
     to paint me
        a smile ..? 
     



July, 12th 2018



-Azmeirina-

3/10/2018

Mamah



Halo semuanya! It’s been almost one year since my last post. Kalau tahun lalu gue masih dealing sama urusan lokasi penelitian skripsi, sebentar lagi insya Allah gue akan melaksanakan sidang skripsi *YEAY!* seluruh persiapan Alhamdulillah sudah matang, draft, presentasi, semua udah oke. Cuma, penguji gue Prof. Zainal sibuk banget, tapi kemarin udah acc beliau untuk tanggalnya. Jadi, ditunggu aja ya tanggal mainnya :P

Anyway, kalau kalian baca judul post gue yang kali ini, iya gue mau cerita soal “Ibu” atau yang gue pribadi menyebut nyokap dengan panggilan “Mamah”. Kenapa sih gue pengen bahas soal ini? Lanjutin aja ya bacanya sampai selesai hehehehe. Kebetulan juga, kali ini gue lagi pengen santai, jadi ngga formal ngga apa-apa ya.

Sebelumnya, gue yakin seluruh orang di muka bumi ini, punya sosok seorang Ibu. Entah mereka mengagumi Ibunya atau tidak, tapi pasti, mereka punya Ibu. Nggak sedikit juga dari banyaknya orang yang bahkan belum pernah bertemu dengan Ibu nya, entah karena Ibu nya meninggal ketika melahirkan, atau “meninggalkan anaknya” karena alasan yang lain.

Alhamdulillah, sampai di usia 22 tahun ini, gue dapat bertemu dengan nyokap gue setiap hari. Dulu waktu kecil, gue sering kesal dan nggak suka sama nyokap, karena terkesan terlalu mengekang dan memberi banyak aturan. Tapi ya namanya anak kecil, ketika gue nggak suka sama nyokap, yang gue lakukan hanya bisa menangis. Dulu di mata gue, nyokap gue itu galak banget. Dikit-dikit  marah, dikit-dikit nyentil. Gue sering merasa “selalu salah” di depan nyokap. Pokoknya dulu semasa sekolah, gue sering kesal sama nyokap.

Tapi semakin gue bertambah usia, gue semakin mengerti, bahwa apa yang nyokap lakukan, ternyata semata demi kebaikan gue. Dari SD sampai SMA kelas 1, handphone gue sering disita nyokap karena dianggap merusak konsentrasi belajar. Gue kesal banget saat itu, gue ngadu ke guru, gue nangis. Gue merasa kayak dikekang (kalo diinget-inget alay banget ya?). Tapi ternyata apa yang nyokap lakukan membuahkan hasil, gue bisa punya prestasi di sekolah. Itu semua nggak lepas dari campur tangan nyokap dalam mendidik gue.

Beberapa tahun terakhir, khususnya saat mulai kuliah, intensitas komunikasi antara gue dan nyokap semakin meningkat. Gue semakin merasa “butuh” untuk ngobrol sama nyokap terutama saat sepulang kuliah, segala penat yang gue rasakan kayanya bisa lepas hanya dengan ngobrol sama nyokap. Semakin lama, ada sesuatu yang nggak gue sadari, rasa ketidaksukaan gue ke nyokap semakin berganti menjadi rasa kagum. Setiap gue ngobrol, bertukar pikiran, atau curhat, gue sering kali cuma bisa senyum melihat betapa tangguhnya wanita di depan gue ini. Sampai akhirnya, gue menjadikan nyokap sebagai role model gue.

Semakin ke sini, perbincangan hangat antara gue dan nyokap semakin menjadi candu. Gue dan nyokap menjadi semakin lebih luwes untuk berbincang tentang satu sama lain. Kami berdua sering kali menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bicara tentang apa saja, yang paling sering, jadi telat tidur karena terlalu seru membahas ini itu, bisa sampai jam 1 atau 2 pagi sambil ngopi dan ngemil berdua di ruang keluarga.

Gue juga pernah jadi telat berangkat ke kampus karena saat sarapan gue ngobrol dulu sama nyokap, atau nyokap yang terlambat berangkat karena mau cerita-cerita dulu. Tapi ternyata, sekarang secara perlahan gue mulai sadar, bahwa di balik setiap detik yang terlambat, ada sebuah ikatan yang terjalin semakin erat. Hubungan gue dan nyokap semakin lama semakin dekat, bahkan mungkin jauh lebih dekat ketimbang saat gue masih kecil dulu.

Mungkin gue belum sempat bilang ke nyokap, tapi gue udah berjanji ke diri gue sendiri, bahwa gue ingin membuat nyokap bahagia.



If only you read this, I love you so much Mamah.




March, 10th 2018
Warmest regards,



-Azmeirina-

4/01/2017

Suara Disko #4: "Cinta Ditolak Disko Bertindak"

Just a lil bit of the real crowd of Suara Disko
(Source: Facebook)

Hello everyone! Sorry for spamming but I guess my head wants to exploded because many ideas are waiting to be written about, soooo let's just get started! Right now, I wanna share about the annual event,"Suara Disko" which held by a community who loves Indonesian Rare Grooves, the old songs that won't get you bored even though the contemporary ones does hits you right just to make you fit into the globals :P
.
Well anyway, I've came twice to this event. On the first one, I came 2 hours late and the crowd was already as louuudd as the last event. There were hugeee of people came to Baxter just to enjoy Suara Disko. That's why I came right at 9 pm on the 4th event of Suara Disko last March. I came there with my one and only babe, Dalasta. I saw people spoiled out their happiness, singing so out loud, dancing through the rhymes, enjoying the time together. Everybody blended into one harmony, listening to the non-stop 6 hours set of Indonesian Rare Groove brought by Diskoria Selekta. The ambience is just different than the other events. It supposed to be visited by my mum and dad's generations but voila, that's my generation that came and enjoy the hype!

Fariz RM!!
(Source: Facebook)

On the 4th Suara Disko, they brought a guest star, which is Fariz RM, the legendary old singer of Sakura, Barcelona, Selangkah Kesebrang, and many more. He didn't stand on a stage though, he stands with us to keep the intimacy on. I tried to took some videos through my instastory on instagram but it ended up with my dirty voices, I couldn't handle myself to not singing (and screaming out loudly) because I just can't keep my own excitement! (Hey, what's not to love about his songs?!)


See, my face is definitely uncontrolled
(Source: Facebook)

I was happy at that time because I can sing for hours without thinking about my bad voice lol. But overall, I'm so happy that finally there's a place for me, for all Indonesian Rare Groove listener to be exact. Everyone was happy and enjoyed the moment without getting drunk. We sing and dance together. No EDM musics, no trance musics. There are only Indonesian Rare Grooves. I wish Suara Disko will constantly be held every year, so we can sing and dance and enjoy the rhymes through the vinyls of Diskoria Selekta!


I rarely went to an event, but when I do, I go to Suara Disko!

Everyone was happy and enjoyed the moment
(Source: Facebook)


Anyway, thank you so much for visiting my blog!



April, 1st 2017
Sincerely,




-Azmeirina-

Aqua & Vanilla




What happened between us,

will always be something to be kept.
To be learned as a lesson, and to be exactly remembered.
That we've done something good together.
Even the worst ones taught us,
about the better version,
of you, of me, of the world.
For one month short or long,
I've finally realized the truth.
We are walking on a different path now,
for our own reasons,
for our own happiness.
So there were you and me.
No more us.
No more Aqua and Vanilla.



March, 28th 2017




-Azmeirina-

Been a While!

Hellooo everyonee! How are youuu? Sorry it took more than a month for me to finally came on blogging because I've just finished my mid semester examination and so far it didn't crawled me down, and of course I've passed SOCA, (Student Oral Case Analysis), the one of an hell for this mid-term (well, every exam to be exact) sooo it's a yeaayy! Honestly, in the middle of the past weeks, I kept on writing but I didn't have much time to edit and post it into my personal blog. Maybe for the next days I'll try to post it one by one (let's just hope that it won't be another bullshits) hehe. 

Well I have a good news for you too, I have finally write my own thesis! And the good news is... *drumrolls* my first chapter is finally finished and approved! YEAY! But I'm still waiting for the approval from Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (Harkit) because my research is about the cognitive dysfunctions and impairments after Coronary Artery Bypass Graft (CABG) sugery, and it's been more than a month since the first time I asked their permit for my thesis. What's unique and fun about my thesis is my thesis adviser is a psychiatrist and she works in a very phenomenal asylum in Jakarta, which is Rumah Sakit Jiwa Grogol or commonly known as RSJ Grogol :"D whenever I came there to meet my thesis adviser, I always spent some time to walk through the aisle and look up into the ward just to throw up a smile or say hi to the patients. Even though it's very tiring for me to spent my days from Bintaro-Grogol-Slipi and back then, but I know right I won't get the chance to came to the asylum and communicate with the patients if I didn't walk on this path. (Actually, I didn't choose for it. My university changes the method and choose to drawn it randomly instead of asking the students to choose it by themselves).

So besides on struggling my last semesters in Faculty of Medicine and being a Pre-Clinical student, I'm now writing my thesis and I wish it will be finished as soon as possible. Aameen.





April, 1st 2017
Sincerely,




-Azmeirina-

2/23/2017

What if?



I think we should live separately from each other,
Move so far away until the shadows are gone,
Forget all the laughter above the pillow,
Washout all the kisses below the blanket,
Leave all those pretty things behind,
And then we off to go,
To a place we say goodbye.

But I have questions to be answered,
What if we would never meet again?
Or, what if our path would cross again?
Would we tie the knot and share the breath till the death?



February, 23rd 2017



-Azmeirina-

1/26/2017

Happiness comes from Within.

Hi guys welcome back to my personal blog! This is me Aisya, dan sekarang gue ingin berbagi sedikit tulisan tentang arti kata "bahagia". Mungkin teman-teman bisa mencari secara harfiah arti kata bahagia, tapi pernah gak kalian realize sesungguhnya kapan sih kita merasa bahagia?

Gue pribadi merasa bahagia ketika gue merasa bersyukur dengan apa yang gue miliki saat ini. Merasa bersyukur dan tidak mengeluh adalah kunci dari bahagia untuk gue. Ketika gue merasa kurang dengan apa yang gue miliki saat ini, rasanya ingin mengeluh terus. Kesel, capek, malu, semua terus dirasakan. Tapi ketika gue merasa bersyukur biar hanya punya uang seribu rupiahpun, rasanya tetap bahagia. Gue masih bisa napas, gue masih bisa makan meskipun minta orangtua, gue masih bisa main hp, laptop, bahkan blogging seperti saat ini. Rasa bersyukur itu seharusnya ditanamkan untuk hal sekecil apapun, sesimpel apapun. Sesimpel mengucap syukur karena masih diberi kesempatan hidup dan beraktivitas sehingga bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi.


Gue personally pernah menjadi orang yang kurang bersyukur, sehingga bawaannya iri dan murung dengan orang lain. Tapi saat ini, gue sedang mencoba menerapkan kebiasaan bersyukur pada diri gue sendiri. Klise memang kalau dibilang alasan untuk bersyukur adalah karena kita masih jauh lebih beruntung dibandingkan orang lain, tapi ada alasan lain yang membuat gue sedang melatih diri untuk tetap bersyukur. Alasannya simpel, agar gue selalu bisa bahagia. Dalam keadaan apapun.


Gue punya kebiasaan ketika merasa di "titik terendah", gue pergi ke suatu yayasan Tuna Netra yang ada di daereah Serpong. Setiap kali gue di perjalanan pulang dari sana, gue selalu merasa re-born, seperti terlahir kembali. Rasanya sangat-sangat bahagia. Hidup seperti tidak ada masalah sebelumnya, beban semua terangkat. Gue bahagia karena melihat para penghuni yayasan yang ternyata jauh lebih bahagia dari gue. Tidak lain dan tidak bukan karena mereka ternyata jauh lebih bersyukur daripada gue. Dalam keadaan mereka yang tidak dapat melihat, mereka tetap bisa beraktivitas seperti biasa, bahkan pancaran kebahagiaan mereka sangat terlihat jelas ketika mereka sedang tersenyum, atau tertawa. Hebatnya lagi, mereka tetap bisa menggunakan komputer, alat musik, bahkan sepeda. Mereka tidak menjadikan status "Tuna Netra" sebagai hambatan dalam menjalankan aktivitas. Dan yang paling membuat gue tidak berhenti berdecak kagum sampai saat ini adalah, mereka setiap harinya memproduksi 3 set Al-Qur'an Braille untuk dibagikan secara gratis kepada Tuna Netra lainnya di Indonesia. Subhanallah, Allahuakbar.


Setelah beberapa kali mengalami masalah ini itu, serta kesana-kemari untuk mencari solusi, gue bertemu satu titik di mana gue sangat yakin bahwa bahagia itu didapat bukan dari orang lain, tapi dari dalam diri kita sendiri. Mau punya rumah sebesar apapun, barang semewah apapun, uang sebanyak apapun, keluarga yang harmonis, bahkan pasangan yang rupawan sekalipun, kalau tidak bisa mensyukurinya maka bahagia tidak akan hadir dalam kehidupan. Perasaan kurang puas dalam segala aspek adalah wajar, itulah yang membuat manusia belajar dan mengejar sesuatu yang lebih baik, tidak lain dengan ekspektasi agar dirinya juga bisa menjadi lebih baik pula. Gue juga sering kali memiliki perasaan kurang puas terutama dalam hal materi pelajaran, rasanya menjelang ujian apa yang sudah gue pelajari masih aja terasa kurang, hingga akhirnya membuat gue untuk membuka buku dan membaca lagi materinya. Tetapi kurang puas bukan berarti tidak bersyukur, kan? :) 



Pada akhirnya, bagi gue saat ini, hal yang terpenting adalah, bahagia itu didapat dari adanya rasa puas dalam diri. Dan rasa puas dalam diri sendiri didapat karena merasa bersyukur dengan apa yang ada. Mungkin tulisan ini sangat biasa, mohon dimaklumi karena sudah disebutkan di description box blog gue kalau gue bukan penulis hihi. Gue hanya pembaca buku yang gemar menulis, tapi semoga setelah membaca tulisan ini teman-teman bisa menjadi lebih bahagia lagi dari sebelumnya!






January, 26th 2017

Warmest regards,



-Azmeirina-

12/14/2016

Kepribadian Dependen

Halo teman-teman!




Sesuai dengan judul di atas, pada hari yang berbahagia ini gue akan mengulas sedikit tentang kepribadian dependen. Sebenarnya ada banyak jenis kepribadian, tapi yang kali ini ingin gue bahas adalah salah satu jenis kepribadian yang paling sering dijumpai. Ada yang salah gak sih dari seseorang yang dependen? Nah, sekarang kita bahas dulu yuk definisi dari kepribadian dependen.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 
Kepribadian = Sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Dependen = Tergantung (terikat pada); tidak berdiri sendiri.

Jadi, kepribadian dependen adalah sifat bergantung kepada orang lain yang tercermin pada sikap seseorang.

Pribadi yang dependen bergantung kepada orang lain dalam berbagai macam hal, termasuk pengambilan keputusan. Keluarga serta pasangan biasanya menjadi "objek dependensi" atau tempat bergantung para pemilik kepribadian dependen. Segala keinginan yang bukan kebutuhan rasanya harus dipenuhi, sampai timbul rasa takut akan perpisahan yang berlebihan terhadap objek dependensi tersebut.

Gue pribadi juga pernah menjadikan seseorang menjadi objek dependensi, sehingga pada akhirnya gue menjadi bergantung (dependen) kepada orang lain. Dependensi tersebut lama-lama menimbulkan perasaan cemas akan kehilangan dan perpisahan, cemas karena sering kali gue berpikir, jika objek dependensi gue sudah tidak ada lagi, lalu bagaimana bisa gue survive tanpa "sandaran" lagi? Apakah gue tetap bisa menjalani kehidupan normal tanpa objek dependensi? Sampai suatu saat objek dependensi gue sudah tidak ada lagi, efeknya adalah penurunan keinginan dan motivasi untuk melakukan kegiatan. Lemas rasanya, saat itu gue berpikir bahwa kehilangan objek dependensi sama saja dengan kehilangan nyawa gue sendiri.
(Fyi, objek dependensi gue saat itu adalah abang gue, yang selalu mengantar gue kemanapun. Sampai saat abang gue menikah, dia sudah fokus dengan keluarga kecil yang dibangunnya. Sedangkan gue, pada akhirnya harus belajar memberanikan diri pergi kemanapun dengan transportasi umum sendirian.)
Setelah tau bagaimana efeknya, bagaimana gak enaknya menjadi pribadi yang dependen, akhirnya gue mencoba untuk mulai menghilangkan kebiasaan dependen gue. Awalnya gue takut untuk pergi kemana-mana sendirian, setiap pergi selalu merasa insecure. Tapi alhamdulillah sekarang gue bisa pergi kemanapun sendirian dengan perasaan yang lebih tenang.

Saat gue menyadari bahwa gue ternyata seseorang yang dependen, gue belum mengetahui kalau kepribadian dependen bisa berujung menjadi gangguan kejiwaan. Sampai akhirnya semester ini, gue mempelajari ilmu kejiwaan (psikiatri), lalu gue dihadapkan pada 1 kasus pasien dengan kepribadian dependensi. Awalnya gue agak kurang percaya, tapi setelah gue buka beberapa textbook atau buku ajar dan juga beberapa jurnal, ternyata memang benar. Kepribadian dependen bisa menjadi salah satu bentuk gangguan jiwa, jika memenuhi kriteria diagnosisnya. Hal ini tercantum dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia edisi ke-3. Gak hanya di buku PPDGJ aja, tapi di literatur lain pun disebutkan, diantaranya dalam buku Sinopsis Psikiatri - Kaplan Sadock, Buku Ajar Psikiatri - FK UI, dan beberapa literatur lainnya. Hal ini menguatkan apa yang baru saja gue pelajari, bahwa menjadi dependen atau bergantung, ternyata berujung pada suatu gangguan jiwa.

Kriteria diagnosis Gangguan Kepribadian Dependen menurut PPDGJ ke -3 akan gue post by request bagi teman-teman yang ingin mengetahui penegakkan diagnosis GKD karena kalau ditulis di post ini nantinya akan terlalu panjang.
"Kepribadian dependen bisa menjadi salah satu bentuk gangguan jiwa, jika memenuhi kriteria diagnosisnya. Hal ini tercantum dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia edisi ke-3" 

 Kalau menurut Buku Ajar Psikiatri FK UI Edisi 1 Tahun 2010,
"Gangguan Kepribadian Dependen = Suatu pola perilaku berupa kebutuhan berlebih agar dirinya dipelihara, yang menyebabkan seorang individu berperilaku submisif, bergantung kepada orang lain, dan ketakutan akan perpisahan dengan orang tempat ia bergantung."

Objek dependensi lain yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pasangan pribadi tentunya, ketika 2 orang menjalin sebuah hubungan, dalam satu waktu yang bersamaan timbul komitmen yang diiringi dengan dependensi. Yap, ketergantungan. Dependensi paling lumrah adalah atensi dan afeksi, atau perhatian dan kasih sayang. Banyak orang yang pada akhirnya menuntut frekuensi serta jumlah atensi yang sama secara konstan terus menerus, namun secara gak sadar mereka yang demanding itu sudah menjadi dependen, dan sudah pasti pasangannya menjadi objek dependensi. Pada akhirnya ketika terjadi penurunan frekuensi pemberian atensi, dia menjadi cemas, berujung sedih, murung, atau bisa jadi marah, karena kebutuhannya akan perhatian kurang memenuhi keinginannya.

Beberapa hal lain yang sering terlihat adalah dependensi seorang wanita untuk dijemput oleh pasangannya, atau dependensi seorang pria terhadap wanita dalam hal urusan rumah tangga. Menurut gue pribadi, permintaan akan sesuatu untuk sekali atau dua kali mungkin masih wajar, meskipun penilaian taraf kewajaran merupakan hal yang subjektif. Tapi kalau itu menjadi suatu kebiasaan, bukankah itu menjadi perilaku dependen? Jika memang pria berkomitmen untuk menjemput, dan wanita berkomitmen untuk mengurus rumah tangga, maka dependensi bukan menjadi masalah. Karena komitmen dan dependensi adalah 2 hal yang berbeda.

Sama halnya dengan kehadiran Asisten Rumah Tangga (ART), mereka memang punya komitmen untuk mengurus rumah, mulai dari nyapu, ngepel, ngelap, nguras bak mandi, ngosek kamar mandi, dan hal lain yang menjadi tugasnya di rumah. Namun, kehadiran ART bisa menjadi objek dependensi majikannya. Efek dependensi terhadap ART biasanya terlihat saat lebaran, semua ART mudik ke kampung halaman, lalu majikan kebingungan untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Padahal di sisi lain, kehadiran ART dapat membantu kita untuk belajar mengurus rumah tangga sendiri. Tetapi semua kembali lagi ke pribadi masing-masing, setiap orang punya kebijakan masing-masing dalam menyikapi hadirnya ART.

Biasanya, setelah objek dependensi sudah tidak ada, terjadi fase penyesuaian atau adaptasi. Jika tidak bisa beradaptasi selama 6 bulan, hal ini bisa disebut sebagai Gangguan Penyesuaian sesuai dengan buku PPDGJ-3. Kalau setelah 6 bulan masih tidak bisa beradaptasi juga, ujungnya bisa ke Generalized Anxiety Disorder (Gangguan Cemas Menyeluruh) atau bisa juga menjadi Gangguan Depresi. Mungkin Gangguan Jiwa yang lainnya yang berefek dari Kepribadian Dependen akan gue bahas di post selanjutnya.


Setelah mempelajari sedikit demi sedikit mengenai kepribadian dependen, pada akhirnya gue sadar bahwa menjadi independen itu menyenangkan. Kita gak perlu bergantung kepada orang lain untuk mengantar kesana kemari, gak perlu bergantung kepada siapapun dalam mengurus rumah (nyapu, ngepel, ngelap, ngurus mobil, ngosek kamar mandi), serta gak perlu bergantung untuk atensi dan afeksi, karena pada akhirnya gue sadar kalau dukungan moril paling besar datangnya adalah dari dalam diri kita sendiri.


Sekian dulu ulasan kali ini tentang kepribadian dependen, semoga bermanfaat untuk teman-teman semuanya, terutama untuk gue pribadi.


And, thank you for visiting my blog!


December, 14th 2016
Sincerely,



-Azmeirina-

12/13/2016

Personality Disorder? Is it even real?

Halo teman-teman!


Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, gue akan mengulik sedikit tentang medical thingy. Post gue kedepannya mungkin gak melulu tentang poems atau random thoughts (malu ih udah kepala 2 masih aja mikirnya random). Berhubung gue kuliah di bidang kedokteran, gue rasa kenapa gak sekalian aja gue berbagi tentang beberapa hal mengenai kesehatan sesuai dengan apa yang gue pelajari. Lalu, apa aja sih yang akan di bahas? Nah, gue sekarang sedang mempelajari tentang Neuro-Behaviour System yang membahas tentang Saraf (Neurologi) dan Kejiwaan (Psikiatri), yang menarik adalah ternyata ilmu Kejiwaan (Psikiatri) sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Ilmu Psikiatri mempelajari tentang kepribadian dan mood seseorang, gerak-geriknya, bahkan tentang bagaimana seseorang berbicara. Seru ya!

Mungkin kedepannya gue akan membahas bidang yang lain juga, gak hanya gangguan Psikiatri aja. Tapi yang saat ini ingin gue bahas adalah beberapa gangguan Psikiatri yang sangat sering kita jumpai, bahkan mungkin pernah kita alami secara tidak sadar dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa gangguan juga baru gue ketahui setelah mempelajari beberapa buku ajar Pskiatri, dan gue juga kaget ternyata banyak juga gangguan Psikiatri (banyak banget yang dipelajari). Selain itu juga ada banyak gangguan psikiatri yang sering gue liat sehari-hari, bahkan ada yang pernah gue alami sendiri.

Maka dari itu, gue terinspirasi untuk bisa berbagi melalui blog ini tentang beberapa hal mengenai gangguan Psikiatri. Insya Allah pembahasannya gak akan terlalu formal, akan gue usahakan untuk menyertakan contohnya dalam kehidupan supaya lebih mudah dipahami, tapi akan tetap gue sampaikan dengan beberapa dasar ilmiah yang gue pelajari dari text book dan jurnal. Semoga apapun yang tertulis di blog ini bisa bermanfaat untuk teman-teman, terutama untuk gue sendiri.



Thank you!



December, 13th 2016
Sincerely,


-Azmeirina-

Medical Talks???

Helloooo guyss!

How are youuu? Are you goooodd?


Well, I'm now on my 5th semester of pre-clinic (wish me luck for my thesis please), and I'd like to write and share some medical thingy to you that relates to our daily activity, actually inspired by each disorders that I've learned in my class. Sooo currently I'm studying about psychiatry and it has a lot of things (disorders and etc) that really taught me about our personality or even about the way we talk. It somehow motivates me to share somethings about psychiatry that we often meet, feel, or see in real life. I guess being a psychiatrist is fun because they know well about other's personality or even disorder just by learning other's gesture, mood, and things that related to it.


So I'll start writing about medical talks on the next post (maybe not right after this post if only I'm too lazy for a formal kinda post). If you have something to ask about health or medicine, just leave a comment here and I'll try my best to answer your questions. Or just chat me if you have my contact :P I promise you I'll answer each questions.

And I guess I'm gonna use Bahasa when it comes to any kind of medical talks :))))


Thank you anyway!



Sincerely
December, 13th 2016


-Azmeirina-

The Journey of 2016

Hello, reader(s)!

I came on blogging againnn after months of hiatus, and I guess I wanna share about what was going on my life through 2016, knowing that we are now walking on the last pages of the year.... yashhh it's already December! So, why not to share something about this year? :P

First of all, 2016 has been one of the most up-and-down kinda year for me. (Do I always said "this year has been the most up-and-down kinda year for me" like every year? Wqwqwq) But this year, is really one of the most experiencing year, the happiest year, maybe one of the busiest year, but not the saddest one I guess. I've got soooo many things to be learned and remembered in 2016 about organizations, environments, social acts, holidays, friendships, family life, medical lyfe as usual, love life also, and last but not least is about myself.

Last year, I decided to join some organizations without thinking what's the real meaning of it and its orientation. 2 of them were not really helping me on finding its orientation, they were only looking for youth development and empowerment but they don't know what's their own focuses. So I didn't put myself involved too far with them, I just came to them when they hold a social act or social event.

Then I joined other organizations, it works on environmental issues, and somehow it has something related to my medical life. When they discussed about pollution for example, I tried to find "what would happened if pollutant affects the lung?" or the other medical relation from every environmental issues. I found it was fun, really really fun. I enjoyed whenever they hold a group discussion until doing some research and make it related to some medical things.

I also joined a community, which taught poor and marginal children both in academic and non academic every Sunday noon. The children loves us, they keep on hugging and smiling whenever we came to the class to teach them.



For holiday kinda thing, I went to Jogjakarta last February. It wuz really wonderful. I went there alone, actually attending a NGO's National Meeting, but I came 3 days earlier so I have the whole 3 days for exploring Jogjakarta, all by myself. From Jakarta to Jogja by train, from the train station to the hotel by Go-Jek, from the hotel to another place by public transport, until 4 hours of walking-jogging-semi hiking from Sentolo to Kulonprogo. Well, I've planned a holiday to Jogjakarta next year but still haven't got the permit yet. Fyuhhh.



This year I met a lot of new people, got new experiences, gained more knowledge, and overall this year is better than 2015. About this year's love life I guess mine was sucks but it doesn't really bad tho. I learned a lot about how to accept and respect others the way they are and keep on striving and being patient even tho they didn't do the same. At first I thought it's gonna be the most rock-solid one, but God with His own way showed me that it wasn't. Well, we both were very opened to each other, about every single thing. Not because both of us forced or asked for it, but because both of us found our comfort zone, definitely in ours. Love, trust, faith, and honesty had just been there. We talked like best friends, listened to the same music, laughed at the same stupid jokes, yet we fought like the other couple. When it came to the good times, it was one of the most comfortable-enjoyable-lovable-unforgettable times in my life. But when it came to the bad times, it felt like it was one of the most sucks-irritating-unforgettable and the worst relationship I've ever had.

I knew every relationship has its good and bad times, so does mine. Everything went well, I might say it was perfect if only 99.8 was counted as 100. But after all those times, I have to go out from my comfort zone. When it came to the end, it was saddening and fed me up at first, yet it was the best decided I made that time because even tho I couldn't make the good times back again to me, at least I don't have to feel the bad ones, right?


Everything happened for a reason, and I believe God has prepared something much better than I expected.



December, 13th 2016
Sincerely,


-Azmeirina-