12/14/2016

Kepribadian Dependen

Halo teman-teman!




Sesuai dengan judul di atas, pada hari yang berbahagia ini gue akan mengulas sedikit tentang kepribadian dependen. Sebenarnya ada banyak jenis kepribadian, tapi yang kali ini ingin gue bahas adalah salah satu jenis kepribadian yang paling sering dijumpai. Ada yang salah gak sih dari seseorang yang dependen? Nah, sekarang kita bahas dulu yuk definisi dari kepribadian dependen.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 
Kepribadian = Sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Dependen = Tergantung (terikat pada); tidak berdiri sendiri.

Jadi, kepribadian dependen adalah sifat bergantung kepada orang lain yang tercermin pada sikap seseorang.

Pribadi yang dependen bergantung kepada orang lain dalam berbagai macam hal, termasuk pengambilan keputusan. Keluarga serta pasangan biasanya menjadi "objek dependensi" atau tempat bergantung para pemilik kepribadian dependen. Segala keinginan yang bukan kebutuhan rasanya harus dipenuhi, sampai timbul rasa takut akan perpisahan yang berlebihan terhadap objek dependensi tersebut.

Gue pribadi juga pernah menjadikan seseorang menjadi objek dependensi, sehingga pada akhirnya gue menjadi bergantung (dependen) kepada orang lain. Dependensi tersebut lama-lama menimbulkan perasaan cemas akan kehilangan dan perpisahan, cemas karena sering kali gue berpikir, jika objek dependensi gue sudah tidak ada lagi, lalu bagaimana bisa gue survive tanpa "sandaran" lagi? Apakah gue tetap bisa menjalani kehidupan normal tanpa objek dependensi? Sampai suatu saat objek dependensi gue sudah tidak ada lagi, efeknya adalah penurunan keinginan dan motivasi untuk melakukan kegiatan. Lemas rasanya, saat itu gue berpikir bahwa kehilangan objek dependensi sama saja dengan kehilangan nyawa gue sendiri.
(Fyi, objek dependensi gue saat itu adalah abang gue, yang selalu mengantar gue kemanapun. Sampai saat abang gue menikah, dia sudah fokus dengan keluarga kecil yang dibangunnya. Sedangkan gue, pada akhirnya harus belajar memberanikan diri pergi kemanapun dengan transportasi umum sendirian.)
Setelah tau bagaimana efeknya, bagaimana gak enaknya menjadi pribadi yang dependen, akhirnya gue mencoba untuk mulai menghilangkan kebiasaan dependen gue. Awalnya gue takut untuk pergi kemana-mana sendirian, setiap pergi selalu merasa insecure. Tapi alhamdulillah sekarang gue bisa pergi kemanapun sendirian dengan perasaan yang lebih tenang.

Saat gue menyadari bahwa gue ternyata seseorang yang dependen, gue belum mengetahui kalau kepribadian dependen bisa berujung menjadi gangguan kejiwaan. Sampai akhirnya semester ini, gue mempelajari ilmu kejiwaan (psikiatri), lalu gue dihadapkan pada 1 kasus pasien dengan kepribadian dependensi. Awalnya gue agak kurang percaya, tapi setelah gue buka beberapa textbook atau buku ajar dan juga beberapa jurnal, ternyata memang benar. Kepribadian dependen bisa menjadi salah satu bentuk gangguan jiwa, jika memenuhi kriteria diagnosisnya. Hal ini tercantum dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia edisi ke-3. Gak hanya di buku PPDGJ aja, tapi di literatur lain pun disebutkan, diantaranya dalam buku Sinopsis Psikiatri - Kaplan Sadock, Buku Ajar Psikiatri - FK UI, dan beberapa literatur lainnya. Hal ini menguatkan apa yang baru saja gue pelajari, bahwa menjadi dependen atau bergantung, ternyata berujung pada suatu gangguan jiwa.

Kriteria diagnosis Gangguan Kepribadian Dependen menurut PPDGJ ke -3 akan gue post by request bagi teman-teman yang ingin mengetahui penegakkan diagnosis GKD karena kalau ditulis di post ini nantinya akan terlalu panjang.
"Kepribadian dependen bisa menjadi salah satu bentuk gangguan jiwa, jika memenuhi kriteria diagnosisnya. Hal ini tercantum dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia edisi ke-3" 

 Kalau menurut Buku Ajar Psikiatri FK UI Edisi 1 Tahun 2010,
"Gangguan Kepribadian Dependen = Suatu pola perilaku berupa kebutuhan berlebih agar dirinya dipelihara, yang menyebabkan seorang individu berperilaku submisif, bergantung kepada orang lain, dan ketakutan akan perpisahan dengan orang tempat ia bergantung."

Objek dependensi lain yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pasangan pribadi tentunya, ketika 2 orang menjalin sebuah hubungan, dalam satu waktu yang bersamaan timbul komitmen yang diiringi dengan dependensi. Yap, ketergantungan. Dependensi paling lumrah adalah atensi dan afeksi, atau perhatian dan kasih sayang. Banyak orang yang pada akhirnya menuntut frekuensi serta jumlah atensi yang sama secara konstan terus menerus, namun secara gak sadar mereka yang demanding itu sudah menjadi dependen, dan sudah pasti pasangannya menjadi objek dependensi. Pada akhirnya ketika terjadi penurunan frekuensi pemberian atensi, dia menjadi cemas, berujung sedih, murung, atau bisa jadi marah, karena kebutuhannya akan perhatian kurang memenuhi keinginannya.

Beberapa hal lain yang sering terlihat adalah dependensi seorang wanita untuk dijemput oleh pasangannya, atau dependensi seorang pria terhadap wanita dalam hal urusan rumah tangga. Menurut gue pribadi, permintaan akan sesuatu untuk sekali atau dua kali mungkin masih wajar, meskipun penilaian taraf kewajaran merupakan hal yang subjektif. Tapi kalau itu menjadi suatu kebiasaan, bukankah itu menjadi perilaku dependen? Jika memang pria berkomitmen untuk menjemput, dan wanita berkomitmen untuk mengurus rumah tangga, maka dependensi bukan menjadi masalah. Karena komitmen dan dependensi adalah 2 hal yang berbeda.

Sama halnya dengan kehadiran Asisten Rumah Tangga (ART), mereka memang punya komitmen untuk mengurus rumah, mulai dari nyapu, ngepel, ngelap, nguras bak mandi, ngosek kamar mandi, dan hal lain yang menjadi tugasnya di rumah. Namun, kehadiran ART bisa menjadi objek dependensi majikannya. Efek dependensi terhadap ART biasanya terlihat saat lebaran, semua ART mudik ke kampung halaman, lalu majikan kebingungan untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Padahal di sisi lain, kehadiran ART dapat membantu kita untuk belajar mengurus rumah tangga sendiri. Tetapi semua kembali lagi ke pribadi masing-masing, setiap orang punya kebijakan masing-masing dalam menyikapi hadirnya ART.

Biasanya, setelah objek dependensi sudah tidak ada, terjadi fase penyesuaian atau adaptasi. Jika tidak bisa beradaptasi selama 6 bulan, hal ini bisa disebut sebagai Gangguan Penyesuaian sesuai dengan buku PPDGJ-3. Kalau setelah 6 bulan masih tidak bisa beradaptasi juga, ujungnya bisa ke Generalized Anxiety Disorder (Gangguan Cemas Menyeluruh) atau bisa juga menjadi Gangguan Depresi. Mungkin Gangguan Jiwa yang lainnya yang berefek dari Kepribadian Dependen akan gue bahas di post selanjutnya.


Setelah mempelajari sedikit demi sedikit mengenai kepribadian dependen, pada akhirnya gue sadar bahwa menjadi independen itu menyenangkan. Kita gak perlu bergantung kepada orang lain untuk mengantar kesana kemari, gak perlu bergantung kepada siapapun dalam mengurus rumah (nyapu, ngepel, ngelap, ngurus mobil, ngosek kamar mandi), serta gak perlu bergantung untuk atensi dan afeksi, karena pada akhirnya gue sadar kalau dukungan moril paling besar datangnya adalah dari dalam diri kita sendiri.


Sekian dulu ulasan kali ini tentang kepribadian dependen, semoga bermanfaat untuk teman-teman semuanya, terutama untuk gue pribadi.


And, thank you for visiting my blog!


December, 14th 2016
Sincerely,



-Azmeirina-

12/13/2016

Personality Disorder? Is it even real?

Halo teman-teman!


Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, gue akan mengulik sedikit tentang medical thingy. Post gue kedepannya mungkin gak melulu tentang poems atau random thoughts (malu ih udah kepala 2 masih aja mikirnya random). Berhubung gue kuliah di bidang kedokteran, gue rasa kenapa gak sekalian aja gue berbagi tentang beberapa hal mengenai kesehatan sesuai dengan apa yang gue pelajari. Lalu, apa aja sih yang akan di bahas? Nah, gue sekarang sedang mempelajari tentang Neuro-Behaviour System yang membahas tentang Saraf (Neurologi) dan Kejiwaan (Psikiatri), yang menarik adalah ternyata ilmu Kejiwaan (Psikiatri) sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Ilmu Psikiatri mempelajari tentang kepribadian dan mood seseorang, gerak-geriknya, bahkan tentang bagaimana seseorang berbicara. Seru ya!

Mungkin kedepannya gue akan membahas bidang yang lain juga, gak hanya gangguan Psikiatri aja. Tapi yang saat ini ingin gue bahas adalah beberapa gangguan Psikiatri yang sangat sering kita jumpai, bahkan mungkin pernah kita alami secara tidak sadar dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa gangguan juga baru gue ketahui setelah mempelajari beberapa buku ajar Pskiatri, dan gue juga kaget ternyata banyak juga gangguan Psikiatri (banyak banget yang dipelajari). Selain itu juga ada banyak gangguan psikiatri yang sering gue liat sehari-hari, bahkan ada yang pernah gue alami sendiri.

Maka dari itu, gue terinspirasi untuk bisa berbagi melalui blog ini tentang beberapa hal mengenai gangguan Psikiatri. Insya Allah pembahasannya gak akan terlalu formal, akan gue usahakan untuk menyertakan contohnya dalam kehidupan supaya lebih mudah dipahami, tapi akan tetap gue sampaikan dengan beberapa dasar ilmiah yang gue pelajari dari text book dan jurnal. Semoga apapun yang tertulis di blog ini bisa bermanfaat untuk teman-teman, terutama untuk gue sendiri.



Thank you!



December, 13th 2016
Sincerely,


-Azmeirina-

Medical Talks???

Helloooo guyss!

How are youuu? Are you goooodd?


Well, I'm now on my 5th semester of pre-clinic (wish me luck for my thesis please), and I'd like to write and share some medical thingy to you that relates to our daily activity, actually inspired by each disorders that I've learned in my class. Sooo currently I'm studying about psychiatry and it has a lot of things (disorders and etc) that really taught me about our personality or even about the way we talk. It somehow motivates me to share somethings about psychiatry that we often meet, feel, or see in real life. I guess being a psychiatrist is fun because they know well about other's personality or even disorder just by learning other's gesture, mood, and things that related to it.


So I'll start writing about medical talks on the next post (maybe not right after this post if only I'm too lazy for a formal kinda post). If you have something to ask about health or medicine, just leave a comment here and I'll try my best to answer your questions. Or just chat me if you have my contact :P I promise you I'll answer each questions.

And I guess I'm gonna use Bahasa when it comes to any kind of medical talks :))))


Thank you anyway!



Sincerely
December, 13th 2016


-Azmeirina-

The Journey of 2016

Hello, reader(s)!

I came on blogging againnn after months of hiatus, and I guess I wanna share about what was going on my life through 2016, knowing that we are now walking on the last pages of the year.... yashhh it's already December! So, why not to share something about this year? :P

First of all, 2016 has been one of the most up-and-down kinda year for me. (Do I always said "this year has been the most up-and-down kinda year for me" like every year? Wqwqwq) But this year, is really one of the most experiencing year, the happiest year, maybe one of the busiest year, but not the saddest one I guess. I've got soooo many things to be learned and remembered in 2016 about organizations, environments, social acts, holidays, friendships, family life, medical lyfe as usual, love life also, and last but not least is about myself.

Last year, I decided to join some organizations without thinking what's the real meaning of it and its orientation. 2 of them were not really helping me on finding its orientation, they were only looking for youth development and empowerment but they don't know what's their own focuses. So I didn't put myself involved too far with them, I just came to them when they hold a social act or social event.

Then I joined other organizations, it works on environmental issues, and somehow it has something related to my medical life. When they discussed about pollution for example, I tried to find "what would happened if pollutant affects the lung?" or the other medical relation from every environmental issues. I found it was fun, really really fun. I enjoyed whenever they hold a group discussion until doing some research and make it related to some medical things.

I also joined a community, which taught poor and marginal children both in academic and non academic every Sunday noon. The children loves us, they keep on hugging and smiling whenever we came to the class to teach them.



For holiday kinda thing, I went to Jogjakarta last February. It wuz really wonderful. I went there alone, actually attending a NGO's National Meeting, but I came 3 days earlier so I have the whole 3 days for exploring Jogjakarta, all by myself. From Jakarta to Jogja by train, from the train station to the hotel by Go-Jek, from the hotel to another place by public transport, until 4 hours of walking-jogging-semi hiking from Sentolo to Kulonprogo. Well, I've planned a holiday to Jogjakarta next year but still haven't got the permit yet. Fyuhhh.



This year I met a lot of new people, got new experiences, gained more knowledge, and overall this year is better than 2015. About this year's love life I guess mine was sucks but it doesn't really bad tho. I learned a lot about how to accept and respect others the way they are and keep on striving and being patient even tho they didn't do the same. At first I thought it's gonna be the most rock-solid one, but God with His own way showed me that it wasn't. Well, we both were very opened to each other, about every single thing. Not because both of us forced or asked for it, but because both of us found our comfort zone, definitely in ours. Love, trust, faith, and honesty had just been there. We talked like best friends, listened to the same music, laughed at the same stupid jokes, yet we fought like the other couple. When it came to the good times, it was one of the most comfortable-enjoyable-lovable-unforgettable times in my life. But when it came to the bad times, it felt like it was one of the most sucks-irritating-unforgettable and the worst relationship I've ever had.

I knew every relationship has its good and bad times, so does mine. Everything went well, I might say it was perfect if only 99.8 was counted as 100. But after all those times, I have to go out from my comfort zone. When it came to the end, it was saddening and fed me up at first, yet it was the best decided I made that time because even tho I couldn't make the good times back again to me, at least I don't have to feel the bad ones, right?


Everything happened for a reason, and I believe God has prepared something much better than I expected.



December, 13th 2016
Sincerely,


-Azmeirina-