3/10/2018

Mamah



Halo semuanya! It’s been almost one year since my last post. Kalau tahun lalu gue masih dealing sama urusan lokasi penelitian skripsi, sebentar lagi insya Allah gue akan melaksanakan sidang skripsi *YEAY!* seluruh persiapan Alhamdulillah sudah matang, draft, presentasi, semua udah oke. Cuma, penguji gue Prof. Zainal sibuk banget, tapi kemarin udah acc beliau untuk tanggalnya. Jadi, ditunggu aja ya tanggal mainnya :P

Anyway, kalau kalian baca judul post gue yang kali ini, iya gue mau cerita soal “Ibu” atau yang gue pribadi menyebut nyokap dengan panggilan “Mamah”. Kenapa sih gue pengen bahas soal ini? Lanjutin aja ya bacanya sampai selesai hehehehe. Kebetulan juga, kali ini gue lagi pengen santai, jadi ngga formal ngga apa-apa ya.

Sebelumnya, gue yakin seluruh orang di muka bumi ini, punya sosok seorang Ibu. Entah mereka mengagumi Ibunya atau tidak, tapi pasti, mereka punya Ibu. Nggak sedikit juga dari banyaknya orang yang bahkan belum pernah bertemu dengan Ibu nya, entah karena Ibu nya meninggal ketika melahirkan, atau “meninggalkan anaknya” karena alasan yang lain.

Alhamdulillah, sampai di usia 22 tahun ini, gue dapat bertemu dengan nyokap gue setiap hari. Dulu waktu kecil, gue sering kesal dan nggak suka sama nyokap, karena terkesan terlalu mengekang dan memberi banyak aturan. Tapi ya namanya anak kecil, ketika gue nggak suka sama nyokap, yang gue lakukan hanya bisa menangis. Dulu di mata gue, nyokap gue itu galak banget. Dikit-dikit  marah, dikit-dikit nyentil. Gue sering merasa “selalu salah” di depan nyokap. Pokoknya dulu semasa sekolah, gue sering kesal sama nyokap.

Tapi semakin gue bertambah usia, gue semakin mengerti, bahwa apa yang nyokap lakukan, ternyata semata demi kebaikan gue. Dari SD sampai SMA kelas 1, handphone gue sering disita nyokap karena dianggap merusak konsentrasi belajar. Gue kesal banget saat itu, gue ngadu ke guru, gue nangis. Gue merasa kayak dikekang (kalo diinget-inget alay banget ya?). Tapi ternyata apa yang nyokap lakukan membuahkan hasil, gue bisa punya prestasi di sekolah. Itu semua nggak lepas dari campur tangan nyokap dalam mendidik gue.

Beberapa tahun terakhir, khususnya saat mulai kuliah, intensitas komunikasi antara gue dan nyokap semakin meningkat. Gue semakin merasa “butuh” untuk ngobrol sama nyokap terutama saat sepulang kuliah, segala penat yang gue rasakan kayanya bisa lepas hanya dengan ngobrol sama nyokap. Semakin lama, ada sesuatu yang nggak gue sadari, rasa ketidaksukaan gue ke nyokap semakin berganti menjadi rasa kagum. Setiap gue ngobrol, bertukar pikiran, atau curhat, gue sering kali cuma bisa senyum melihat betapa tangguhnya wanita di depan gue ini. Sampai akhirnya, gue menjadikan nyokap sebagai role model gue.

Semakin ke sini, perbincangan hangat antara gue dan nyokap semakin menjadi candu. Gue dan nyokap menjadi semakin lebih luwes untuk berbincang tentang satu sama lain. Kami berdua sering kali menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bicara tentang apa saja, yang paling sering, jadi telat tidur karena terlalu seru membahas ini itu, bisa sampai jam 1 atau 2 pagi sambil ngopi dan ngemil berdua di ruang keluarga.

Gue juga pernah jadi telat berangkat ke kampus karena saat sarapan gue ngobrol dulu sama nyokap, atau nyokap yang terlambat berangkat karena mau cerita-cerita dulu. Tapi ternyata, sekarang secara perlahan gue mulai sadar, bahwa di balik setiap detik yang terlambat, ada sebuah ikatan yang terjalin semakin erat. Hubungan gue dan nyokap semakin lama semakin dekat, bahkan mungkin jauh lebih dekat ketimbang saat gue masih kecil dulu.

Mungkin gue belum sempat bilang ke nyokap, tapi gue udah berjanji ke diri gue sendiri, bahwa gue ingin membuat nyokap bahagia.



If only you read this, I love you so much Mamah.




March, 10th 2018
Warmest regards,



-Azmeirina-

No comments:

Post a Comment