Halo semuanya! It’s been
almost one year since my last post. Kalau tahun lalu gue masih dealing sama
urusan lokasi penelitian skripsi, sebentar lagi insya Allah gue akan melaksanakan sidang skripsi *YEAY!* seluruh persiapan Alhamdulillah sudah
matang, draft, presentasi, semua udah
oke. Cuma, penguji gue Prof. Zainal
sibuk banget, tapi kemarin udah acc beliau untuk tanggalnya. Jadi,
ditunggu aja ya tanggal mainnya :P
Anyway, kalau kalian baca
judul post gue yang kali ini, iya gue mau cerita soal “Ibu” atau yang gue pribadi menyebut nyokap dengan panggilan “Mamah”. Kenapa
sih gue pengen bahas soal ini?
Lanjutin aja ya bacanya sampai selesai hehehehe. Kebetulan juga, kali ini gue lagi pengen santai, jadi ngga
formal ngga apa-apa ya.
Sebelumnya, gue yakin
seluruh orang di muka bumi ini, punya sosok seorang Ibu. Entah mereka mengagumi
Ibunya atau tidak, tapi pasti, mereka punya Ibu. Nggak sedikit juga dari banyaknya orang yang bahkan belum pernah
bertemu dengan Ibu nya, entah karena Ibu nya meninggal ketika melahirkan, atau “meninggalkan
anaknya” karena alasan yang lain.
Alhamdulillah, sampai di usia 22 tahun ini, gue dapat bertemu dengan nyokap
gue setiap hari. Dulu waktu kecil,
gue sering kesal dan nggak suka
sama nyokap, karena terkesan terlalu
mengekang dan memberi banyak aturan. Tapi ya namanya anak kecil, ketika gue nggak suka sama nyokap, yang gue lakukan hanya bisa menangis. Dulu di mata gue, nyokap gue itu galak
banget. Dikit-dikit marah, dikit-dikit nyentil. Gue sering
merasa “selalu salah” di depan nyokap.
Pokoknya dulu semasa sekolah, gue sering kesal sama nyokap.
Tapi semakin gue
bertambah usia, gue semakin mengerti,
bahwa apa yang nyokap lakukan,
ternyata semata demi kebaikan gue.
Dari SD sampai SMA kelas 1, handphone gue
sering disita nyokap karena dianggap
merusak konsentrasi belajar. Gue
kesal banget saat itu, gue ngadu ke guru, gue nangis. Gue merasa
kayak dikekang (kalo diinget-inget alay
banget ya?). Tapi ternyata apa yang
nyokap lakukan membuahkan hasil, gue
bisa punya prestasi di sekolah. Itu semua nggak
lepas dari campur tangan nyokap
dalam mendidik gue.
Beberapa tahun terakhir, khususnya saat mulai kuliah, intensitas
komunikasi antara gue dan nyokap semakin meningkat. Gue semakin merasa “butuh” untuk ngobrol
sama nyokap terutama saat sepulang
kuliah, segala penat yang gue rasakan
kayanya bisa lepas hanya dengan ngobrol sama nyokap. Semakin lama, ada sesuatu yang nggak gue sadari, rasa ketidaksukaan gue ke nyokap semakin berganti
menjadi rasa kagum. Setiap gue
ngobrol, bertukar pikiran, atau curhat,
gue sering kali cuma bisa senyum melihat betapa tangguhnya wanita di depan gue ini. Sampai akhirnya, gue menjadikan nyokap sebagai role model gue.
Semakin ke sini, perbincangan hangat antara gue dan nyokap semakin
menjadi candu. Gue dan nyokap menjadi semakin lebih luwes untuk
berbincang tentang satu sama lain. Kami berdua sering kali menghabiskan waktu
berjam-jam hanya untuk bicara tentang apa saja, yang paling sering, jadi telat
tidur karena terlalu seru membahas ini itu, bisa sampai jam 1 atau 2 pagi sambil
ngopi dan ngemil berdua di ruang keluarga.
Gue juga pernah jadi telat
berangkat ke kampus karena saat sarapan gue
ngobrol dulu sama nyokap, atau nyokap yang terlambat berangkat karena
mau cerita-cerita dulu. Tapi ternyata, sekarang secara perlahan gue mulai sadar, bahwa di balik setiap detik
yang terlambat, ada sebuah ikatan yang terjalin semakin erat. Hubungan gue dan nyokap semakin lama semakin dekat, bahkan mungkin jauh lebih dekat ketimbang saat gue masih kecil dulu.
Mungkin gue belum sempat
bilang ke nyokap, tapi gue udah berjanji ke diri gue sendiri, bahwa gue ingin membuat nyokap
bahagia.
If only you read
this, I love you so much Mamah.
March, 10th 2018
Warmest regards,
-Azmeirina-